Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Mampukah lahan kering di NTT berproduksi?

Oleh Dati Nawastuti Lewoema, S.Pt *

Spirit NTT, 19-25 Mei 2008

BULAN lalu, tepatnya tanggal 25-26 Maret 2008 saya mengikuti seminar internasional yang diadakan oleh Universitas Gadjah Mada, KAGAMA dan Departemen Luar Negeri mengambil tema Mapping the Political Economy and Sosio-Cultural Cooperation between Indonesia and the Middle Eastern Countries.

Salah satu pembicara untuk sesion pertanian adalah Prof. Dr. Irham yang mempresentasikan tentang Sosioeconomic Aspect of Dry-land Agriculture Development: Finding Implications Towards Indonesia-Middle East Cooperation.

Menurut Prof. Irham, total area lahan kering di Indonesia mencapai 33,7 juta hektar dan sebanyak 18 juta hektar telah terdegradasi. Lalu berapa luas areal lahan kering di NTT?Ternyata ada sekitar 3.351.241 hektar dan dari lahan seluas hampir 3,5 juta hektar tersebut ternyata baru 34 persen yang telah dikelola oleh masyarakat.

Lahan kering di NTT termasuk dalam lahan kering beriklim kering yang banyak terdapat di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sehingga sangat berbeda dengan lahan kering di daerah beriklim basah seperti di Kalimantan dan Sumatera.

Pembahasan tentang lahan kering perlu diawali dengan pengenalan tanah, jenis tanah di NTT serta jenis-jenis tanaman yang dapat tumbuh di lahan kering tersebut. Menurut Radjagukguk (2006), tanah (soil) yang dalam skala hamparan disebut lahan (land) merupakan sumber daya dasar untuk pertanian selain air, udara, cahaya dan benih. Tanah berperan sebagai tempat tumbuhnya tanaman, sumber bahan makanan,penyimpan air untuk tanaman dan penyimpan udara untuk pernapasan akar.

Karena itu, upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia yang terus bertambah tampaknya tidak akan terlepas dari pemanfaatan tanah dan pengelolaannya secara bijaksana. Upaya meningkatkan produksi pangan ditempuh dengan cara intensifikasi yakni meningkatkan produktivitas lahan yang sudah dimanfaatkan dan ekstensifikasi yakni memperluas areal lahan pertanian.

Jenis-jenis tanah pertanian
Terdapat banyak jenis-jenis tanah pertanian di Indonesia yaitu alluvial, gley, regosol, grumusol, mediteran, latosol, andosol dan podzolik. Adapun jenis-jenis tanah pertanian di NTT meliputi mediteran (Manggarai, Sumba, Kupang, Flores Timur, Sikka, Ende dan Ngada), latosol (semua kabupaten kecuali Ende), alluvial (Belu, Sumba, Kupang, TTS dan Ngada), grumosol (Kupang, TTS, TTU, Belu), regosol (Sikka, Ende, Flores Timur).

Sebenarnya jenis-jenis tanah di NTT sudah cukup baik karena tidak termasuk tiga tanah bermasalah seperti podzolik merah-kuning, histosol dan tanah sulfat masam yang mengacu pada tanah-tanah yang menunjukkan kendala-kendala fisika dan kimia untuk produksi tanaman yang ekonomis.

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tanah yaitu sistem pengelolaan,hasil keluaran dan tanah itu sendiri. Tanah produktif harus mempunyai kesuburan yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman akan tetapi tanah subur tidak selalu berarti produktif. Tanah subur akan produktif jika dikelola dengan tepat dengan menggunakan teknik pengelolaan (teknologi tepat guna ) dan jenis tanaman yang sesuai untuk lahan tersebut.

Jenis-jenis tanaman di lahan kering
Jenis-jenis tanaman apa saja yang dapat dibudidayakan di lahan kering NTT? Mari kita lihat jenis tanaman pangan,ada jagung, ubi kayu, padi gogo, kacang-kacangan, sorghum hingga labu-labuan. Tanaman keras/perkebunan juga tak kalah menariknya sebut saja kopi, coklat, jambu mente, asam, kemiri, lontar, kelapa, kapuk, vanili sampai yang lagi naik daun saat ini yaitu jarak pagar dari yang diusahakan secara intensif hingga yang dibiarkan tumbuh liar tanpa perawatan.

Lihatlah betapa beranekaragamnya jenis-jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik dan juga mempunyai nilai tambah bagi perekonomian keluarga.

Wakil Gubernur NTT, Frans Lebu Raya saat wawancara di Metro TV pada tanggal 8 April 2008 mengatakan, "Jangan memberikan stigma bahwa NTT merupakan Propinsi termiskin karena dari data BPS sejak tahun 2003-2006 terjadi penurunan kemiskinan. Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa NTT selalu menjadi Propinsi termiskin di Indonesia."

Lalu apa masalahnya sehingga sampai saat ini NTT masih saja dipayungi kemiskinan walaupun tidak secara menyeluruh? Menurut Lutfi Fatah (2007), kemiskinan terjadi karena penguasaan sumber ekonomi rendah akibatnya kemampuan produksi rendah dan produktivitasnyapun rendah. Rendahnya produktivitas berakibat rendahnya pendapatan dan karena itu disebut miskin.

Apakah produktivitas masyarakat kita masih rendah? Jawabnya YA. Saya punya sedikit ilustrasi yang walaupun tidak sama persis di semua tempat, namun setidaknya memberikan sedikit gambaran mengenai kebiasaan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani/pekebun namun tidak dapat mengatur (manage) waktu sehingga walau seberapapun mereka bekerja keras namun hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan keringat yang dikeluarkan.

Ketika ayam jantan berkokok, petani/pekebun bukannya cepat-cepat pergi ke kebun melainkan sibuk memberi makan babi/kambing, pikul air sambil berbincang-bincang hingga tidak terasa matahari mulai naik. Sekitar pukul 09.00 pagi baru mereka pergi ke ladang/kebun. Perjalanan ke kebun saja memakan waktu paling tidak 30-45 menit. Lalu mereka mulai bekerja dan ketika matahari tepat di atas kepala sekitar pukul 12.00-13.00 mereka beristirahat selama 1-2 jam dan mulai bekerja lagi hingga kira-kira pukul 16.00-17.00.


Coba dihitung, berapa jam yang efektif untuk mereka bekerja. Sekitar 4-5 jam tanpa tambahan penghasilan apapun.Belum lagi berapa hektar lahan yang mereka garap? Hari Senin menggarap lahan di kebun A, hari Selasa di kebun B, hari Rabu di kebun C belum lagi jadwal kerja kelompok yang padat sehingga kelihatannya petani/pekebun kita lebih sibuk daripada manager di perusahaan asing.

Bandingkan dengan hasil penelitian Sudharwono (1995) yang mengatakan bahwa rata-rata seorang petani hanya mampu memanfaatkan lahannnya secara maksimal seluas hektar. Bila lebih dari itu maka lahan yang digarapnya tidak akan memberikan hasil yang diharapkan.

Misalkan petani/pekebun tersebut pergi saat fajar mulai mengintip di timur dan bekerja hingga pukul 12.00 lalu pulang dan mengerjakan pekerjaan sampingan yang dapat menambah nilai ekonomis maka tidak mustahil mereka akan memperoleh pendapatan yang lebih baik daripada sebelumnya.
Namun mampukah petani/pekebun kita mengubah pola yang tidak efektif dan efisien tersebut setelah sekian lama terhanyut dengan gaya hidup yang menerima keadaan apa adanya?

Selama ini hasil pertanian mereka hanya untuk keamanan pangan keluarga saja (pola pertanian keluarga) tidak berorientasi bisnis.Tapi sampai kapan mereka mampu bertahan dalam kondisi yang serba cepat berubah ini? Sampai kapankah kita meratapi Nasib Tidak Tentu ini Nanti Tuhan Tolong?

Penutup
Sumber daya alam sudah tersedia. Akan tetapi, mampukah petani kita memberdayakan diri untuk mengolah lahan agar berproduksi secara optimal, agar tidak ada lagi masyarakat yang berebut RASKIN (kadang-kadang masyarakat kita lupa bahwa bahan pangan pokok tidak hanya beras), tidak ada lagi anak-anak yang meninggal karena gizi buruk/busung lapar/kekurangan gizi, yang ujung-ujungnya menyalahkan alam yang terlalu keras, atau saling tuding di antara para stakeholders pembangunan.

Lahan di NTT memang tidak terlalu subur jika dibandingkan dengan lahan-lahan pertanian di Jawa atau pulau-pulau lainnya di Kawasan Barat Indonesia. Akan tetapi lahan di NTT tetap mempunyai nilai tambah bila dikelola dengan manajemen yang benar.

Mantan Wapres RI, Try Sutrisno dalam sebuah teleconference (1995) dengan seorang petani di Timor pernah berkata; tidak perlu menyesali keadaan alam yang sudah demikian adanya. Alam telah dengan adil memberikan sumberdaya yang khas jika kita yakin bahwa dia memang adil. Belum tentu cendana tumbuh bagus di pulau lainnya, dan belum tentu pula burung unta mampu bertahan di pulau-pulau 'basah' lainnya. *

* Penulis, tinggal di Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur. Saat ini sedang menyelesaikan S2 pada program Magister Manajemen Agribisnis di Universitas Gadjah Mada.

Tidak ada komentar: