Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sejarah misi Katolik di Keuskupan Maumere

Spirit NTT 5-11 Mei 2008

MENURUT L Lame Uran (dalam buku sejarah perkembangan misi Flores Diosis Agung Ende), masuknya agama katolik di Maumere diawali datangnya dua orang Pastor Dominikan pada tahun 1566, yaitu P Joao Bautista da Fortalezza di Paga dan P Simao da Madre de Deos di Sikka.
Kedua misionaris ini dikirim oleh P Antonio da Cruz dari Larantuka (yang pada waktu itu menjadi pusat misi kepulauan Solor) untuk membangun stasi atau menyebarkan agama katolik di pesisir pantai Pulau Flores bagian tengah.
Pada tahun 1613 ketika Belanda menaklukkan Portugal dan menduduki Benteng Solor, kedua misionaris tersebut ditawan. Pada tahun tersebut panglima Scotter (panglima Belanda) melaporkan jumlah umat Katolik di Misi Kepulauan Solor 2.450 keluarga (12.000 jiwa), 200 keluarga di antaranya terdapat di Maumere/Sikka.

Pada tahun 1615 Belanda meninggalkan Benteng Solor. Pada tahun 1617 P Visitator Joao das Chagas dan P Manuel de Sa mengunjungi Sikka. Mereka diterima umat dengan gembira. Di tempat tersebut sudah ada gereja, namun pastornya ditawan oleh Belanda. Oleh karena itu P Manuel de Sa menetap sementara di Sikka, sementara P Visitator Joao das Chagas menuju Paga.
Di Paga mereka ditolak sehingga rombongan melanjutkan perjalanan ke Ende. Setelah melayani umat di Pulau Ende, dalam perjalanan pulang ke Larantuka, P Visitator singgah lagi di Paga. Kali ini mereka diterima dengan baik, sehingga Visitator menempatkan lagi seorang imam di Paga yaitu PGaspar da Cruz.
Pada tahun 1618 Benteng Solor diduduki kembali oleh Belanda. Orang Islam yang bersekongkol dengan Belanda menjadi lebih beringas terhadap orang Portugis, termasuk para pastornya. Diceritakan bahwa pada awal tahun 1621 ketika P Joao Bautista da Fortalezza dan P Simao da Madre de Deos berlayar dari Maumere menuju Larantuka untuk menemui pembesar mereka, perahu yang mereka tumpangi terbawah arus ke Lamalera. Di pantai Lamalera berlabuh sebuah kapal milik orang Islam dari Lamakera. Mendengar ada dua pastor Portugis tiba di Lamalera, pelaut Lamakera mau menangkap mereka, namun disembunyikan oleh masyarakat setempat.
Pelaut-pelaut menyandra 90 orang Lamalera yang dituduh menyembunyikan pastor. Mendengar masyarakat disandra, kedua pastor tersebut menyerahkan diri. Mereka dibawah ke Lamakera, dianiaya dan dibunuh secara kejam (kepalanya dipenggal, hati dan jantungnya dimakan) pada tanggal 20 Januari 1621.
Roma (Takta suci) mengizinkan kedua pastor tersebut dihormati sebagai Martir (L Lame Ura. hal 81). Tidak ada catatan mengenai karya keempat Pastor Dominikan tersebut selama bertugas di Sikka, Paga dan wilayah pesisir pantai utara Maumere.
Pada tanggal 21 Desember 1651 dua visitator dari Goa (India) yaitu P Joao Rangel dan P Joao da Costa tiba di Maumere. Di sebelah barat Maumere telah terdapat stasi Ndondo dan sebelah Timur ada stasi Krowe, yang didirikan antara tahun 1566-1575. P Joao Rangel melanjutkan perjalanan ke Larantuka, sementara P Joao da Costa menetap di Bajo, mendirikan stasi dan berhasil menobatkan banyak orang kafir. P Joao da Costa meninggal lalu diganti P Manoel da Ercarnacao.
Selanjutnya selama dua abad misi katolik seolah berhenti. Selama kurun waktu tersebut, para bapak-bapak konferia yang telah di bina oleh Pastor Dominikan tetap mengajar agama dan membaptis umat yang kafir.
Pada tahun 1853, stasi Sikka dikunjungi imam praja dari Dilli yakni Fr. Gregorio Maria Baretto.
Pada tahun 1862 P Fransen, imam praja dari Larantuka mengunjungi umat di Maumere dan mengajak umat untuk membangun lagi stasi.
Pada tahun 1863 P Metz, imam Yesuit pertama, tiba di Flores (Larantuka) dan mulai bekerja bersama P Fransen untuk mengembangkan misi Katolik di Pulau Flores.
Tahun 1864 datang lagi dua imam Yesuit, P Dijkman dan P Omzigt ke Larantuka. Tahun 1868 P Metz mengutus P Omzigt ke Maumere untuk melihat situasi umat. P Omzigt melaporkan jumlah umat katolik di Maumere 6.310 orang (di Maumere, Sikka, Nita, dll). Berdasarkan laporan tersebut, P Metz membuat laporan ke pembesarnya dan meminta tenaga imam untuk membangun stasi-stasi baru di wilayah Maumere.
Tahun 1873, P Omzigt ditunjuk sebagai pastor stasi Maumere. Bersama umat, P Omzigt membangun gereja darurat di bekas SMP Frater (depan gereja St. Yoseph sekarang) sebagai paroki pertama dengan pelindung St.Yoseph, yang kini menjadi paroki Katedral Keuskupan Maumere.
Tahun 1874 P Omzigt meninggal di Surabaya (dalam perjalanan menuju Eropa untuk berobat). Pastor Maumere diganti P Ten Brink.
Selanjutnya datang lagi beberapa imam/bruder Yesuit para suster Belas Kasih. Mereka mendirikan stasi/paroki baru, sekolah dan asrama sebagi berikut:
- Tahun 1874, sekolah dan asrama putra di Maumere (tahun 1897 pindah ke Lela).
- Tahun 1884, Paroki Sikka dan Sekolah dasar dengan P Lecoque q'Armandville.
- Tahun 1887, Paroki Koting dan Sekolah dasar dengan P Ijseldijk.
- Tahun 1889, Paroki Nita dengan P Roupe Van der Voort.
- Tahun 1890, sekolah dan asrama putri di Maumere, yang diasuh oleh Para Betas Kasih.
- Tahun 1899 sekolah dan asrama ini dipindahkan ke Lela.
- Tahun 1893, Paroki Lela dilayani Pastor Sikka - Tahun 1900 P Loojimans ditunjuk sebagai Pastor Lela.
Para pastor selain bertugas di paroki, mereka juga melakukan patroli ke daerah lain yang belum ada stasi. Misalnya P Roupe Van der Voort melakukan partoli sampai ke Mauloo pada tahun 1913 dan membaptis bocah Karel Kale Bale yang menjadi imam pribumi pertama.
Perlu dicatat pula bahwa sejak tahun 1873 sampai dengan 1899 ada 13 misionaris yang bekerja di Maumere dan meninggal dunia,10 di antaranya karena menderita penyakit malaria dan tiga orang karena kecelakaan (jatuh dan tenggelam). Mereka yang meninggal yaitu 8 pastor, 3 bruder dan 2 suster.
***
PADA November tahun1913, Roma mengirim dekrit tentang pembentukan Prefektur Apostolik Sunda kecil derigan prefek Apostolik Mgr. Petrus Noyen SVD sebagai Pembesar Misi Katolik PTimor. Dalam dekrit tersebut Pulau Flores dinyatakan di luar Sunda Kecil.
Namun dalam pembicaraan antara Mgr. Noyen dengan pembesar Yesuit, disepakati Flores masuk prefektur Apostolik Sunda kecil. Dan, ketika berkunjung ke Flores bulan Maret-Juni 1914, Mgr.Noyen telah memilih Ndona sebagai Pusat Misi Kepulauan Sunda Kecil (pada tanggal 29 April 1914).
* Pada 20 Juli 1914 Dekrit dari Kongregasi Penyebaran Iman bahwa Flores masuk dalam Prefektur Apostolik Sunda kecil di bawah Mgr. P Noyen SVD. Ini berarti para imam Yesuit yang berkarya di Flores juga akan diganti dengan imam-imam SVD, juga para Suster Belas Kasih akan diganti oleh Suster SspS. Namun karena pecah perang dunia I, maka para imam/bruder SVD yang sudah disiapkan untuk Flores tidak bisa datang.
* Mgr. P Noyen meminta kesediaan imam/bruder Yesuit dan para suster Belas Kasih untuk tetap berkarya di Flores sampai imam/bruder SVD bisa datang ke Flores .
* Pada tahun 1914 umat Katolik di Maumere tercatat 17.402 orang. Sementara itu Pusat Misi Ndona mulai di bangun tahun 1915 (tahun 1915 bangun sekolah standard, tahun 1916 bangun istana uskup).
* Pada November 1916, para Suster SSpS tiba di Lela.
* Pada tahun 1917 para imam/bruder Yesuit dan para suster Belas Kasih mulai meninggalkan Flores.
Di Maumere imam/bruder Yesuit yang masih tinggal sebagai berikut:
* Paroki Maumere P Sevink dan Bruder Olivers.
* Paroki Koting P Ijsedik dan Bruder Groot
* Paroki Lela P Muller, Bruder Vester dan Bruder Moehler.
* Paroki Nita P Engbers. Mereka bertahan sampai akhir tahun 1919.
Pada bulan Desember 1919 Bruder Bush, Bruder Groot, Bruder Muller, P Engbers meninggalkan Flores/Maumere, disusul P Sevink, Bruder Olivers, Bruder Vester, Bruder Moehler. Imam Yesuit yang terakhir meninggalkan Maumere ialah P Ijseldijk yang mendirikan stasi Koting dan terus berkarya dikoting selama 33 tahun sampai meninggalkan Flores.
Kepergian imam-imam Yesuit diganti imam SVD sebagai berikut:
* Paroki Maumere: PW Srieter
* Paroki Sikka: P Bertold Friess, merangkap Lela.
* Paroki Nita: P Frans Mertens
* Paroki Koting: P Franc Meyer
Dengan datangnya beberapa imam SVD, Mgr Noyen mendirikan lagi 3 paroki baru yaitu Tahun 1920, Paroki Ili: P.Haarman; Paroki Mauloo: PL Flint; Tahun 1921, Paroki Nele: P Grootman
Mgr. P Noyen meninggal di Steyl, Belanda pada 24 Februari 1921, diganti Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD yang ditabhiskan di Steyl pada 1 Oktober 1922 dan tiba di Ndona tanggal 15 Mei 1923. Mgr. Verstaellen, SVD mendirikan empat paroki baru di Maumere yaitu:
- Tahun 1926, Paroki Nangahale: P Terhyden (sekarang pindah ke Watubaing), Paroki Lei- Palue: Dilayani pastor dari daratan Flores.
- Tahun 1927, Paroki Bola: P Lorscheid dan Bruder Frans.
- Tahun 1932, Paroki Lekebai: P Vander Velden
- Tahun 1926, Mgr.Verstraelen juga mendirikan Seminari di Sikka dengan kepala sekolah P. Frans Cornelissen. Seminari ini pada tahun 1929 di pindahkan ke Mataloko. Tahun 1932 tujuh orang siswa pertama tamat dan melanjutkan studi filsafat pada seminari tinggi yang langsung dibuka di Mataloko. Pada tahun 1937 Seminari Tinggi ini dipindahkan ke Ledalero.
- Tahun 1930 Mgr. Verstraelen menyuruh para pastor mengumpulkan gadis-gadis untuk menjadi anggota Konggregasi St. Maria dan juga untuk menjadi calon suster pribumi yang dikumpulkan di Lela, lalu ke Mataloko pada tahun 1933. Mgr.Verstraelen meninggal 16 Mare 1932 dalam kecelakaan oto.
- Tanggal 25 April 1933 Paus Pius XI mengangkat Mgr. H. Leven, SVD mengganti Mgr. Verstraelen, SVD dan ditabhis di Uden-Belanda pada 12 November 1933.
-Tanggal 20 April 1934 Mgr. H Leven, SVD tiba di Ndona.
- Tahun 1935 beliau mendirikan Conggregatio Imitatio Jesu (CIJ): Mgr. H. Leven, SVD mendirikan 4 paroki baru di Maumere yaitu:
-Tahun 1938 Paroki Watublapi: P Hooiveld.
- Tahun 1940 Paroki Kewapante: Dilayani para dosen dari Ledalero.
-Tahun 1945 Paroki Wairpelit: Dilayani para dosen dari Ledalero.
-Tahun 1950 Paroki Boganatar: PJ Niessen.
Perang Dunia II yang pecah tahun 1939 berdampak buruk bagi misi Katolik di Flores sebagai berikut.
- Tahun 1941 semua misionaris Jerman ditangkap, ditawan dan diasingkan ke India oleh tentara Belanda. Pada tahun tersebut Mgr. Leven menahbiskan dua imam pribumi pertama, P. Gabriel Manek SVD dan P Karel Kale Bale SVD.
- Pada tanggal 15 Juli 1942, 119 misionaris asing (75 imam, 15 bruder, 29 suster) ditawan dan diasingkan ke Sulawesi (termasuk P Antonius Thijssen SVD).
- Pada tanggal 15 Agustus 1942 Mgr. Leven menahbiskan lagi dua imam pribumi, P Yan Bala SVD dan P Rufinus Pederico SVD. Seluruh Flores hanya ada enam imam asing dan empat imam pribumi. Pada tanggal 30 Agustus 1943 tiba di Ende dua uskup Jepang (Mgr. P.Yamaguchi dan Mgr Aloysius Ogihara) serta 2 romo (Rm. Michael Iwanaga dan Rm. Philipus Kyuno). Selama tinggal di Flores, Mgr. Yamaguchi menjadi pengantara yang baik antara tentara Jepang dan Misi Katolik Pulau Flores, khususnya dengan Mgr. H Leven, sehingga Misi Katolik tetap bertahan. Mereka tinggal sampai dengan tanggal 30 Agustus 1945.
- Pada tanggal 12 Desember 1943 Mgr. Leven menahbiskan lagi seorang imam pribumi yakni P. Adrianus Conterius, SVD.
- Tahun 1944 Mgr. Leven menahbiskan Rm Lukas Lusi Pr, sebagai imam projo pertama.
- Tanggal 16 September 1945 Mgr. Leven menahbiskan tujuh imam pribumi lagi yaitu P. Zacharias Ze SVD, P. Piet Muda SVD, P.Lambert Lame Uran SVD, P. Yos Dias Viera SVD, P. Markus Malar SVD, P.Bruno Bras SVD dan Rm Alo Ding, Pr.
- Pada bulan Desember 1945 beberapa misionaris yang ditawan Jepang di Sulawesi kembali. Dan, 119 orang yang ditawan, 35 orang meninggal dunia (27 imam, 6 bruder dan 2 suster).
- Tahun 1950 Mgr. Leven, SVD mengusulkan agar Flores dibagi menjadi tiga vikariat dan ia sendiri meminta untuk dibebastugaskan dari Vikariat Apostolik karena kondisi kesehatan menurun.
- Tahun 1951 Roma membentuk tiga Vikariat di Flores yaitu: Ruteng: Mgr. Van Bekkum, SVD;
Ende Mgr. A. Thijssen, SVD; Larantuka: Mgr. G. Manek, SVD.
Selama masa Mgr. A. Thijssen di Maumere didirikan satu paroki baru yaitu tahun 1953 Paroki Tilang dengan P. de Zwart, sebagai Pastor Paroki. Pada tanggal 25 Januari 1961 Roma mendirikan Struktur Hiraikis Gereja di Indonesia dengan enam diosis agung yaitu Jakarta, Semarang, Medan, Pontianak, Maskasar dan Ende.
Di Diosis Agung Ende ditunjuk Mgr. G. Manek, SVD sebagai Uskup Agung dengan uskup-uskup sufragan yaitu Larantuka, Ruteng, Atambua, Denpasar, Weetebula dan Kupang. Diosis Agung Ende meliputi wilayah Ngada, Ende dan Sikka.
Selama masa Mgr.G. Manek, SVD di Maumere didirikan empat paroki yaitu tahun 1961 Paroki Habi, Paroki Halehebing dan Paroki Uwa; tahun 1967 Paroki Watubala. Tahun 1968 Mgr. G Manek, SVD dibebastugaskan karena sakit dan berobat ke Amerika . Pada tanggal 11 Juni 1969 Mgr. Donatus Djagom, SVD ditahbiskan menjadi Uskup Agung Ende di Gereja Kathedral Ende.
Paroki baru yang didirikan selama Mgr.Donatus Djagom ialah tahun 1970, Paroki Nele; tahun 1972 Paroki St. Thomas Morus Maumere dan Paroki Magepanda; tahun 1975 Paroki Wolofeo dan Paroki Kloangrotat; tahun 1992 Paroki Tanarawa; tahun 1994 Paroki Bloro.
***
PADA tanggal 6 April 1996 (Sabtu Kudus),Vatican mengumumkan Mgr. Abdon Longinus da Cunha, Pr sebagai Uskup Agung Ende, menggantikan Mgr. Donatus Djagom, SVD yang sudah tua.
Pada tanggal 10 Juli 1996 Mgr. Abdon Longginus da Cunha, Pr, ditahbiskan menjadi Uskup Agung Ende di Gereja Katedral Ende.
Selama masa Mgr.Abdon Longginus, di Maumere didirikan 3 Paroki baru yaitu tahun 2000, Paroki Nangahure; tahun 2001 Paroki Kloangpopot; rahun 2003 Paroki Nuaria.
Dan empat paroki masih dalam persiapan yaitu Misir, Runut, Bolawolong, dan Feondari. Pada tanggal 14 Desember 2005 Vatican mengumumkan Mgr.Vincentius Sensi Potokota, Pr sebagai Uskup Maumere yang pertama.
Sementara dalam persiapan menyongsong penthabisan uskup Maumere, Mgr. Abdon Longinus da Cunha, Pr meninggal di Jakarta pada tanggal 6 April 2006, tepat 10 tahun saat diumumkan menjadi Uskup Agung Ende.
Pada saat ini di Keuskupan Maumere terdapat 31 paroki dengan urutan pendirian sebagai berikut:
- Antara tahun 1873-1913: 5 Paroki (masa Para Pater Yesuit).
- Antara tahun 1914-1921: 3 Paroki (masa Mgr. P. Noyen, SVD)
- Antara tahun 1922-1932: 4 Paroki (masa Mgr. Verstraelen, SVD).
- Antara tahun 1934-1951: 4 Paroki (masa Mgr. H Leven, SVD)
- Antara tahun 1951-1960: 1 Paroki (masa Mgr. A. Thijssen, SVD)
- Antara tahun 1961-1968: 4 Paroki (masa Mgr. Gabriel Manek, SVD).
- Antara tahun 1969-1996: 7 Paroki (masa Mgr. Donatus Djagom, SVD).
- Antara tahun 1996 - 2005: 3 Paroki (masa Mgr. Abdon Longinus da Cunha, Pr).
Sejak berdirinya paroki pertama yaitu Paroki St. Yoseph tahun 1873 sampai bulan Februari 2006 jumlah umat yang telah di baptis (menerima sakramen permandian) pada paroki-paroki di Wilayah Keuskupan Maumere tercatat 433.697 orang. Dan jumlah tersebut, yang terpanggil untuk hidup membiara sebanyak 403 orang yaitu 3 uskup, 155 imam, 13 bruder/frater dan 233 suster. Sementara masih dalam proses pembinaan (calon imam, bruder, suster) sebanyak 306 orang. Sebagian dari mereka kini menjadi misionaris di berbagai belahan bumi. Selain membangun paroki/gereja, misi Katolik juga mempelopori pembangunan sarana pendidikan dan sarana kesehatan yang tersebar di seluruh Wilayah keuskupan ini. (inimaumere.blogspot.com/sumber: 'Buku Profil Keuskupan Maumere')


Sistem kemasyarakatan

UMAT Keuskupan Maumere/masyarakat Kabupaten Sikka terdiri dari empat suku asli (Sikka Krowe, Lio, Tana Ai dan Palue) di samping pendatang dari luar Kabupaten Sikka. Setiap suku memiliki bahasa, adat istiadat, cara hidup dan cara berpakaian yang berbeda.
Bahasa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari (dalam rumah dan lingkungan) adalah bahasa suku masing-masing, sementara pada tempat-tempat umum menggunakan bahasa Indonesia.
Bahasa masing-masing suku pun pada berbagai desa/paroki ,berbeda dalam dialek dan intonasi,malah berbeda arti.
Suku yang jumlahnya terbanyak adalah Sikka Krowe yang berdomisili pada paroki-paroki bagian tengah yaitu Paroki Tilang, Paroki Bloro, Paroki Lela, Paroki Sikka, Paroki Nita, Paroki Wairpelit, Paroki Koting, Paroki Nele, Paroki Habi, Paroki Ili, Paroki Kewapante, Paroki Watublapi, Paroki Kloangpopot, Paroki Kloangrotat, Paroki Bola, Paroki Halehebing.
Suku ini juga menyebar di sepanjang pantai utara (Paroki Magepanda, Paroki Watubaing, Paroki Nebe) sebagai transmigrasi swakarsa lokal yang membuka sawah di daerah-daerah tersebut sekitar tahun 1950.
Suku ini relatif lebih maju dari suku yang lain, hal mana dapat dipahami karena karya misi Katolik sejak masa pater-pater Dominikan dan masa pater-pater Yesuit (1566-1920) terfokus pada wilayah bagian tengah. Suku ini dibedakan lagi atas tiga sub suku yaitu Sikka-Lela (2 paroki di pantai selatan), Sikka Iwang (5 paroki di pedalaman), Nitung Kangae (bagian timur). Dialek dan intonasi bahasa pada tiga sub suku ini berbeda.
Dalam sistem perkawinan/hidup berkeluarga menganut pola patriarkat, namun dalam proses dan prosedur perkawinan masing-masing sub suku, malah masing-masing klan berbeda.
Suku Lio berdomisili di bagian barat pada paroki-paroki Magepanda, Lekebai, Wolofeo, Nuaria dan Mauloo. Suku ini terbagi atas dua sub suku yaitu Lio Lise (Paroki Mauloo) dan Lio Mego (4 paroki lainnya). Bahasa mereka juga agak berbeda demikian juga adat-istiadat. Dalam perkawinan sama-sama menganut pola patriarkat.
Suku Tana Ai berdomisili di bagian timur pada paroki-paroki Watubala, Watubaing, Nebe, Boganatar dan Tanarawa. Suku ini juga terbagi atas dua sub suku dengan bahasa berbeda yaitu bagian dekat perbatasan (Tana Ai Muhang) yang menggunakan bahasa Muhang Lamaholot dan bagian barat yang menggunakan bahasa Sikka Krowe.
Dalam sistem perkawinan, suku ini mengikuti pola matriarkat. Pola bertani pada suku ini masih banyak bersifat tradisional. Ada beberapa jenis tanaman holtikultura yang tidak boleh di tanam.Pada musim mengerjakan kebun mereka tinggal dikebun (menjaga kebun dari ancaman babi hutan) setelah panen baru mereka kembali ke kampung. Mereka juga berpindah-pindah kebun. Tempat-tempat pemujaan dikebun-kebun dan dilokasi perkampungan juga masih dipegang teguh.
Suku Palue berdomisili di pulau Palue (Paroki Lei dan Uwa), mereka masih tetap mempertahankan adat-istiadat dan cara hidup tradisional yang sangat menyolok, terutama pada upacara perkawinan dan kematian.Setiap orang Palue yang meninggal, beberapa helai rambut dan kuku di simpan dalam rumah adat. Dalam perkawinan mereka juga menganut pola patriarkat.Dalam kehidupan sehari-hari perempuan bekerja lebih berat dari laki-laki, karena disamping mengurus rumah tangga kaum perempuan juga lebih banyak bekerja di kebun dan menenun. Kaum laki-laki lebih banyak menjadi nelayan dan merantau, menjadi TKI di luar negeri (Malaysia) atau berdagang antar pulau.
Tiga paroki di kota Maumere (St.Yoseph, St.Thomas Morus dan Nangahure), umatnya heterogen, berasal dari berbagai suku, baik suku asli maupun dari luar daerah. Dalam kehidupan sehari-hari pergaulan antar umat seiman maupun antar umat yang berbeda agama, pada umumnya berjalan harmonis.
Pengaruh globalisasi di Wilayah Keuskupan Maumere/Kabupaten Sikka, sangat terasa dan cukup berpengaruh pada sistem kemasyarakatan/sistem sosial budaya masyarakat. Sistem transportasi (udara, darat, laut) dan komunikasi yang lancar mempengaruhi kaum muda dalam mengimport/meniru gaya hidup dan budaya luar, sementara sistem kontrol sosial semakin melemah. (inimaumere.blogspot.com/disarikan dari buku "Profil Keuskupan Maumere oleh Oss, BoIm, DePar)





Tidak ada komentar: